Dalam terminologi hukum, ada sebuah prinsip yang disebut Ultimum remedium, yang berarti bahwa hukum pidana harus digunakan sebagai upaya terakhir dalam menegakkan hukum. Prinsip ini juga dianut dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia. Sanksi pidana di bidang perpajakan harus digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), Artinya, fokus penegakan hukum pajak tidak diprioritaskan pada penghukuman fisik terhadap wajib pajak atau penagih pajak. Sanksi pidana pajak sebenarnya dapat dihapuskan atau dikurangi dengan pengakuan yang disertai dengan pembayaran/pelunasan utang pajak dan dendanya (Farouq, 2018).
Ultimum remedium, prinsip ini digunakan sebagai upaya terakhir dalam perpajakan. Hal ini sebenarnya terkait dengan tujuan pemungutan pajak, yaitu mendapatkan uang dari wajib pajak untuk negara, bukan untuk “memenjarakan” wajib pajak atau penagih pajak. Dengan demikian, sanksi pidana terhadap wajib pajak atau penagih pajak hanyalah sebagai pengganti utang pajak dan denda yang tidak dibayar.
Salah satu implementasi dari ultimum remedium dalam perpajakan adalah penyanderaan. Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (“Surat Paksa UU PPSP“) mendefinisikan penyanderaan sebagai pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UU PPSP menyebutkan bahwa penyanderaan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam penagihan pajak, setelah dilakukan tindakan peringatan, teguran, Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dan penyitaan tetapi wajib pajak belum juga melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, setelah diajukan permohonan pembetulan, keberatan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, dan permohonan banding serta gugatan yang diputus oleh Pengadilan Pajak (Gunadi, 2016).
Dalam melaksanakan penyanderaan, prinsip selektifitas dan kehati-hatian harus diperhatikan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UU PPSP, yaitu hanya penanggung pajak yang memenuhi dua kriteria yang dapat disandera, yaitu penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 dan diduga mempunyai iktikad tidak baik untuk melunasi utang pajak tersebut, dan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyanderaan yang diterbitkan oleh jurusita setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Ada enam kriteria yang menunjukkan bahwa itikad baik Wajib Pajak diragukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) huruf d Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Pertama, wajib pajak tidak menanggapi permintaan untuk melunasi utang pajak. Kedua, penanggung pajak tidak menjelaskan atau tidak bersedia melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran. Ketiga, penanggung pajak tidak bersedia menyerahkan harta kekayaannya untuk melunasi utang pajak. Keempat, wajib pajak berniat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Kelima, wajib pajak mengalihkan harta yang dimiliki atau dikuasainya dalam rangka menghentikan atau mengurangi kegiatan atau pekerjaan perusahaan di Indonesia. Keenam, wajib pajak bermaksud membubarkan badan usaha atau menggabungkan, memecah, atau mengalihkan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan lain dalam struktur perusahaan.
Untuk kepastian hukum, surat perintah melaksanakan penyitaan harus mencantumkan sekurang-kurangnya nama penanggung pajak, alasan penyitaan, izin pelaksanaan penyitaan, jangka waktu penyitaan, dan tempat pelaksanaan penyitaan. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan apabila penanggung pajak sedang menjalankan ibadah, menghadiri sidang resmi, atau sedang mengikuti pemilihan umum.
Periode penyanderaan Penyitaan dapat berlangsung paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu enam bulan berikutnya. Meskipun wajib pajak telah disandera, hal ini tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya penagihan pajak karena utang pajak baru akan hapus apabila telah dilunasi atau daluwarsa (Pasal 35 UU Penagihan Pajak).
Pasal 14 ayat (1) KEP-218/PJ/2003 mencantumkan empat syarat yang harus dipenuhi sebelum penanggung pajak dapat dibebaskan dari penyanderaan. Pertama, utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dilunasi. Kedua, batas waktu yang ditentukan dalam Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan telah lewat. Ketiga, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau keempat, berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan.
Singkatnya, Otoritas Pajak penyanderaan tidak dimaksudkan untuk “memenjarakan” wajib pajak. Ini hanya dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) ketika wajib pajak tidak melunasi utang pajak dan sanksi administrasi yang berdampak pada penerimaan negara sebagai salah satu tujuan pemungutan pajak. Secara lebih luas, tujuan penyitaan adalah untuk mendorong kepatuhan dan kesadaran wajib pajak sehingga kepatuhan pajak secara sukarela dapat tercapai.